Saturday, December 31, 2011

2011: Datang, Berlalu, Namun Masih Tertinggal

Menjelang tahun baru, aku tergelitik untuk menulis mengenai tahun ini. Mungkin terdengar sedikit basi karena banyak orang sudah melakukannya… Tapi inilah bentuk rasa syukurku atas satu tahun yang telah kuterima.

Tahun lalu, saat baru menginjak SMA, aku mengalami guncangan besar atas hal-hal baru yang disuguhkan. Keyakinanku dipertanyakan. Pandanganku akan manusia berubah. Aku pun menyadari bahwa selama ini aku naif, sangat naif. Kukira hanya ada tiga golongan di dunia: hitam, putih, abu-abu. Ternyata masih ada begitu banyak warna…

Tahun ini, syukurlah, aku sudah merasa cukup nyaman dengan kondisiku. Aku berdamai dengan hati nuraniku, serta melakukan gencatan senjatan terhadap tuntutan dunia orang dewasa. Begitu pula teman-temanku.

Baiklah, aku akan mulai bercerita lebih mendetail.

Setengah tahun pertama aku masih seorang murid kelas X yang menginjak semester kedua. Awal tahun, aku dan Nila Pangkaja crew lainnya disibukkan oleh Pentas Lab, yaitu pementasan anggota baru. Kelompokku mementaskan drama berjudul Ricetta Segreta (resep rahasia).

Ah. Kau pasti bingung mengapa aku ikut teater. Aku, yang memiliki jangkauan suara pendek dan ekspresi datar seperti sphinx? Alasannya… sama dengan alasan mengapa aku ikut pencak silat padahal tidak pandai olahraga, mengambil pelajaran Seni Musik padahal tidak bisa bermusik, dan di atas segalanya… mengapa aku memilih SMA Teladan, padahal aku tak cocok menjadi muridnya.

Alasannya adalah… “justru karena tidak bisa, lakukanlah sampai bisa”.

Semester itu juga disibukkan oleh kepanitiaan events (biasanya aku menjadi sie dekorasi). Anehnya, aku tidak disibukkan oleh pelajaran. Di saat yang lain study oriented, aku justru menjadi melongo oriented dan main kartu oriented (percayalah, banyak juga yang bersamaku). Sungguh mencengangkan aku bisa naik kelas dengan penguasaan materi hanya sekian persen.

Kemudian tiba saatnya memilih jurusan.

Sebagian besar temanku memilih IPA. Aku, karena ingin hidup santai, memilih IPS. Sepertinya pilihanku tepat karena di kemudian hari teman-temanku mengeluhkan pelajaran IPA yang semakin menyeramkan.

Aku sendiri kurang tertarik pada segala sesuatu yang pasti. Rasanya lebih menyenangkan kalau bisa mengubah di sana dan di sini, berlaku sesuka hati tanpa terancam peraturan baku… Ah, mungkin karena itulah aku mendapat skor rendah dalam bidang mematuhi perintah/aturan di tes psikologi lalu.

Mulai kelas XI, aku bersama Anggun dan Salmon mulai berbisnis. Kami berjualan makanan di sekolah. Anggun dan Salmon membeli makanan basah, sedangkan aku yang malas bangun pagi menyiapkan makanan kering. Dua hari sekali aku membeli satu kilogram makanan kecil, lalu membungkusinya dengan plastik dan menyegelnya dengan lilin. Pekerjaan itu bisa menjadi sangat memuakkan. Terutama saat aku belum ahli sehingga berkali-kali merobek plastik atau tak sengaja membakarnya… beserta makanan di dalamnya.

Pada hari pertama berjualan, kami hanya menjual beberapa buah makanan basah di atas pigura berkaca yang merupakan bekas pajangan kelas. Kami menjualnya dengan berkeliling dari kelas ke kelas. Usaha itu terus berkembang, tak lama kemudian kami menjual seratus lebih makanan dalam sehari… dan semuanya habis, walaupun harus menjualnya sambil berlari-lari mengejar waktu. Pembukuan pun kubuat dengan sederhana (aku tak pernah memerhatikan pelajaran Akuntansi).

Rasanya senang sekali bisa memperoleh uang dari keringat sendiri. Aku pun sekarang lebih menghargai uang. Tujuan tercapai!

Mulai semester inilah tujuan kami ke depan semakin dipertanyakan. Sebagian besar teman sekelasku sudah menentukan akan melanjutkan ke bidang ekonomi, akuntansi dan psikologi. Sedangkan yang di IPA memilih ke teknik, kedokteran, MIPA, dan banyak lagi. Aku sempat mengalami fase panik merasa ditinggal karena belum tahu apa yang akan kulakukan ke depannya.

Saat kecil aku selalu bercita-cita menjadi pelukis, kemudian hanya melenceng sedikit ingin menjadi komikus. Di SMP aku terpikir untuk melanjutkan ke bidang sastra. Awal SMA, aku tergiur mendalami teater. Namun sekarang sastra dan teater sudah kucoret. Begitu pula filsafat, psikologi dan sosiologi yang sempat terlintas di pikiranku.

Aku justru mulai tertarik pada desain komunikasi visual dan… seni rupa. Akankah kurasakan kembali kengerian kata-kata “yang kau pilih pertama kali adalah yang benar”?

Satu yang pasti, aku ingin bekerja di bidang seni. Seni telah memberiku begitu banyak, seni pula yang telah menyokong hidupku sampai sekarang… Dan tanpa sadar, aku mencintainya. Aku ingin mengabdi untuknya dan membesarkannya.

Jadi di tahun inilah aku mulai menemukan tujuan hidupku.

Apa lagi yang terjadi? Ah, ya… Aku jatuh cinta.

Aku adalah tipe orang yang mudah jatuh cinta dan mudah melupakan, karena bagiku jatuh cinta itu memperkaya jiwa. Terlebih saat jatuh cinta setiap debar jantung terasa manis dan hidup jadi lebih bergairah. Tapi jatuh cinta juga membuatku galau berkepanjangan sehingga tidak produktif, jadi lebih baik kuhentikan, terutama di saat-saat penting begini.

Lain halnya dengan kasih sayang terhadap keluarga yang harus lebih kupupuk. Kuakui selama ini aku kurang respect terhadap keluarga karena sibuk dengan urusanku sendiri… Sungguh egois. Maka doa yang paling sering kupanjatkan akhir-akhir ini adalah semoga kedua orangtuaku bisa hidup sehat selama mungkin, supaya aku bisa membahagiakan dan membanggakan mereka sebanyak mungkin.

Sebagai anak yang memiliki kakak-kakak hebat, terkadang sulit bagiku untuk sekedar terlihat. Tapi itu justru membuatku makin terpacu karena tidak ingin kalah dengan mereka. Adikku yang terakhir akan menerima tekanan paling berat, tapi mungkin justru karena itu dia akan menjadi yang paling berhasil.

Tahun ini benar-benar merupakan anugerah yang harus disyukuri. Akan kuceritakan pengalaman yang membuatku semakin mantap berkata demikian…

Beberapa hari lalu, aku dan Nia berniat menonton pementasan di Taman Budaya. Kami harus berjalan beberapa kilometer ke sana karena jalur Trans Jogja ditutup. Untunglah balasannya setimpal. Kami melihat pementasan yang luar biasa. Bukan, bukan ide ceritanya yang luar biasa. Bukan pula dekorasi, lighting, ataupun tata letaknya… melainkan para pemainnya. Sebagian tuli, sebagian tidak bisa berjalan.

Mereka adalah Deaf Art Community beserta pemain yakkum dan para relawan. Kaum tulinya terlihat cantik serta tampan dan sekilas terlihat normal… sampai mereka berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Mereka mementaskan pantomim, puisi visual, sulap, bahkan free style hip-hop. Ketika ditanya bagaimana cara menyesuaikan gerakan-gerakan rumit dengan musik yang tak bisa mereka dengar, sang sutradara yang juga tuli hanya menjawab singkat, “Aku bisa menciptakan musik di dalam diriku.”

Deg.

Betapa selama ini aku tak mensyukuri yang telah Tuhan berikan padaku. Aku memiliki kelima panca indra yang berfungsi normal, badan yang sehat, serta akal dan hati nurani. Sungguh memalukan, aku masih mengeluh atas ketidakmampuanku sementara orang-orang yang berkekurangan mendobrak keterbatasan mereka, tak ingin dikasihani.

Begitulah. Tahun ini penuh dengan kemenangan, kekalahan, kekecewaan, rasa syukur, persahabatan, cinta, kasih sayang keluarga, mimpi, perjuangan, kesadaran, pencarian jati diri, dan masih banyak lagi. Rasanya tak mungkin menceritakan semuanya dalam tulisan pendek ini.

Terima kasih Tuhan.

Terima kasih telah memberiku satu tahun yang begitu bermakna.

Sebagai penutup, aku ingin menuliskan kembali kata mutiara yang paling kusukai tahun ini, kudapat dari Ulul:

“Seorang pemecah batu tengah memukul batu. Pukulan pertama ia gagal, batunya utuh. Kemudian ia lanjutkan lagi. Pukulan kedua ia gagal lagi, tapi ia belum menyerah. Hingga pada pukulan ke-100 ia berhasil. Apakah pukulan pertama sampai pukulan ke-99 itu sia-sia? Tentu tidak! Satu hal yang membuat sesuatu menjadi sia-sia adalah menyerah di tengah jalan.”