Friday, July 20, 2012

Things that Make Me Smile

Halo, sekarang saya kelas XII. Tahun terakhir di SMA, masa yang katanya paling berat. Dan ternyataaa... memang benar. Saya baru masuk sekolah tiga hari tapi rasanya sudah seminggu lebih. Mau tidak mau kami jadi bureng (buru rengking). Mengingat kelas X dan XI saya bersantai-santai terus, perubahan ini berat. Tapi tak apa, sudah saatnya saya serius.

Untuk mengumpulkan materi, kemarin malam saya membereskan lemari buku (dan lemari pakaian dan meja belajar dan seluruh kamar sebenarnya, karena belakangan ini saya tidak sempat membereskannya). Saya menyendirikan buku-buku serta kertas-kertas yang berkaitan dengan UNAS dan SNMPTN. 

Dalam pembersihan itu, saya menemukan banyak latihan soal dan ulangan IPA kelas X yang dengan lega saya kategorikan sebagai "useless". Selain itu saya juga menemukan benda-benda yang membuat saya tersenyum:

1. Gambar Ganesha



Maho-maho itu dia gambar di soal UTS semester genap kelas X saya, bidang studi Matematika. Maho (manusia homo) dulu ngetren sekali di kelas saya. Sampai-sampai sebutan maho tak hanya digunakan untuk menyebut orang-orang yang berkelakuan homo, tapi juga untuk yang berkelakuan konyol, jahat, bureng dan sebagainya. Rasanya dulu sering sekali terdengar ucapan, "Dasar maho!"

Ganesha sendiri adalah cowok yang baby face. Usianya lebih muda dibanding kami karena dia ikut program akselerasi saat SD dan SMP. Pasangan mahonya adalah Faidz.




2. Naskah Drama "Mendadak Lahir"


Ini drama yang kami mainkan saat pelantikan Nila Pangkaja 33. Saya menulisnya dalam waktu sempit. Jadilah drama ini agak-agak absurd.

Ringkasan cerita:
Suatu hari tiga ibu hamil ikut kelas kehamilan. Di tengah pelajaran mendadak salah seorang dari mereka akan melahirkan. Semua panik. Untung muncul seorang dokter yang membantu persalinan. Si bayi pun lahir dengan selamat. Setelah berblablabla akhirnya terbongkar kalau sang dokterlah yang menghamili ibu itu.

Center point drama ini adalah saat sang ibu melahirkan (Dina) mengerang-erang di balik selimut villa yang dipegangi saya dan Akbar yang berteriak-teriak panik (ceritane disensor). Setelah si bayi lahir, Afin bertukar tempat dengan Dina dan selimut pun dibuka. Penonton akan mendapat kesan kuat bahwa sang ibu benar-benar baru saja melahirkan karena Afin lebih kurus daripada Dina.

Kami banyak berimprovisasi. Entah bagaimana sang dokter (Akbar) merupakan kekasih gelap guru (saya). Saya pun mencolok mata dan menangis, lalu menampar Akbar kemudian berlari menjauh. Akbar jatuh terduduk. Ending yang dramatis. Overall, drama ini berantakan sekali. Tapi drama kami paling segar dan meriah dibanding kelompok lainnya.


3. Permohonan iuran makrab & maper Untitled



Dulu ada surat izinnya juga kalau tidak salah, tapi saya hanya menemukan permohonan iurannya.

Setahun lalu kelas kami (X3) mengadakan makrab. Sie repot-repotnya adalah saya (ketua panitia), Aaph (bendahara) dan Salmon (sekretaris). Kami terutama mengurus belanjaan. Ke pasar beli jagung manis dan ubi untuk dibakar, ke Progo untuk melihat-lihat apa lagi yang bisa dibakar tapi pulang dengan tangan kosong karena sosisnya kemahalan, lalu balik lagi ke pasar untuk membeli sekardus Aqua. Kami juga ke Griya Aissa (Jalan Kaliurang km 21) untuk survey tempat.

Makrab dan maper X3 lebih sukses dibanding makrab XI IPS. Saya masih jadi sie repot-repot, tapi tak terlalu semangat karena yang lain juga kurang semangat. Perencanaannya mendadak. Yang datang pun hanya 17 orang dari total 29 orang. Tapi tak apalah, akhirnya kami bisa kumpul-kumpul bersama.


4. Surat informasi Ujian Cambridge




Saat menemukannya, bermacam jenis senyum tersungging di bibir saya.

Cerita ini bermula di kelas X. Suatu hari, secarik kertas diedarkan untuk mendata peminat Ujian Cambridge.  Ujian tersebut membuka jalan untuk kuliah di luar negeri. Saya langsung mendaftar. Peminat lain di kelas saya adalah Kris, cowok yang  seperti profesor.

Sekolah saya membuka kelas Cambridge saat saya akan naik ke kelas XI. Masalahnya, kelas itu hanya disediakan untuk jurusan IPA padahal saya ingin masuk IPS. Saya pun mikir-mikir. Akhirnya saya tetap masuk jurusan IPS dengan Fela yang juga berminat ikut Ujian Cambridge. Kami dijanjikan akan diberi materi tambahan di luar jam sekolah.

Saya benar-benar bersyukur dulu tidak ngotot masuk kelas Cambridge. Seandainya iya, maka saya akan  menyesal sekali. Saya terpaksa belajar IPA selama 2 tahun lagi. Saya akan punya teman-teman sekelas bureng semua. Daaan... mungkin saya akan mengalami kejadian seperti Imad. Imad dulu di kelas Cambridge, tapi akhirnya dia mau masuk jurusan IPS untuk kuliah di Indonesia, jadi dia pun mengajukan diri untuk pindah ke kelas IPS. Sayang tidak bisa karena KBM sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi dia dipindah ke kelas IPA reguler.

Di kelas XI, pelajaran tambahan Cambridge yang dijanjikan untuk saya dan Fela tak pernah direalisasi. Sebagian alasan karena kami belum menentukan silabus (jumlah standarnya tiga). Saya bingung antara Art and Design, Design and Textile, Sociology dan Psycology. Fela berminat pariwisata dan apa saya lupa. Karena belum mendapat bimbingan dari guru, saya berusaha mandiri. Untung perpustakaan sekolah lengkap oleh buku-buku Cambridge. Saya pun memfotokopi buku Sociology (buku bidang minat saya yang lain tidak ada. Kebanyakan bidang IPA) dan mempelajarinya di rumah. Mendownload silabus-silabus, mempelajari bahasa Inggris... dengan benak yang masih bertanya-tanya, "Benarkah saya ingin ikut Ujian Cambridge?"

Kenapa keraguan itu muncul? Padahal awalnya saya mantap. Beginilah rencana saya dulu: ikut ujian Cambridge, cari beasiswa, langsung kuliah di luar negeri setelah lulus SMA. Seperti kakak saya.

Masalahnya adalaaaah, saya akhirnya sadar bahwa saya bukan kakak saya. Saya punya jalan yang berbeda. Ketika itu saya banyak berdiskusi: dengan orang tua, para guru, kakak dan teman. Saya pun berpikir lebih jauh dan realistis. Saya membatalkan cita-cita saya untuk kuliah di luar negeri setelah lulus SMA. Maka saya pun batal ikut Ujian Cambridge (sebenarnya tak apa kalau tetap ikut, tapi sayang biayanya mahal). Sekarang saya bertarget masuk jurusan Sastra Prancis UGM. Dan rencana-rencana lain pun terbentuk...

Fela juga akhirnya tidak jadi ikut Ujian Cambridge. Persoalan itu pun tersingkir dari benak saya untuk beberapa lama, sampai... Tiara, teman sekolah saya, akan kuliah di universitas Birmingham! Saya harus bilang wow.



Itulah empat benda yang membuat saya tersenyum. Terkenang masa lalu yang begitu manis dan naif.

Oh ya, ternyata di kelas Cambridge yang akan ikut Ujian Cambridge bulan Oktober-November mendatang hanya 1-2 orang dari 17 orang. Katanya Ezzat dan Mas Pandu. Mas Pandu pernah ikut pertukaran pelajar ke Jepang selama beberapa bulan. Ezzat? Saya ingat, dulu sekali dia meminjam setumpuk buku Cambridge dan pada petugas perpustakaan berkata, "Untuk sugesti." Saya yakin mereka bisa.

Dan kini saya tersenyum, lagi.

Wednesday, July 11, 2012

Bahagia Itu...

Apa makna bahagia? Masing-masing orang punya jawaban berbeda: bahagia itu bebas, bahagia itu kaya, bahagia itu cinta, atau yang paling populer... bahagia itu sederhana.

Sederhana. Untuk menjelaskannya, saya akan memberi gambaran berupa sekolah saya sekarang. SMA Teladan adalah sekolah yang menjunjung kesederhanaan. Banyak anak orang kaya di sana. Anak-anak orang kaya itu berangkat ke sekolah dengan mobil, sering berlibur ke luar negeri dan entah fasilitas mewah apa yang mereka dapat di rumah. Tapi begitu menginjakkan kaki ke sekolah, anak-anak orang kaya itu hampir tidak terlihat bedanya dengan anak orang biasa-biasa saja... Karena sekolah kami mengajari untuk mengkondusifkan kesederhanaan.

Contoh kiat mengkondusifkan kesederhanaan adalah, sekolah kami mengadakan study tour ke Museum Sangiran dan Kraton Solo alih-alih berlibur ke Bali dan Pangandaran. Ini sih sederhana yang tidak pada tempatnya tapi bukan itu poin kita. Kiat-kiat lain adalah sekolah tidak mewajibkan murid untuk membeli buku pelajaran tertentu tetapi membebaskan untuk belajar dari buku mana saja, dan ada aturan tidak tertulis bahwa seluruh murid muslim perempuan harus mengenakan kerudung. Kerudung dan seragam panjang itu menghalangi murid untuk pamer aksesoris.


Murid-murid di sekolah saya terbagi menjadi tiga golongan: hitam, putih, abu-abu. Golongan putihlah yang akan saya ceritakan pertama. Mereka penganut sejati ajaran "bahagia itu sederhana" dan terdiri dari orang-orang yang berorientasi pada agama. Oh ya, atmosfer agama sekolah saya jauh lebih berat dari sekolah-sekolah negeri lain. Tak perlu heran melihat panjang kerudung murid perempuan sampai lutut atau murid laki-laki bercelana congklang. Jangan kaget kalau mengobrol dengan mereka yang topik pembicaraannya bagaimana menjadi muslim ideal, bagaimana memilih istri atau suami, bagaimana menjalani kehidupan pernikahan muda...

Nikah muda. Itulah kebanyakan tujuan golongan putih di sekolah saya. Sebagai contoh saya mempunyai seorang alumni, sebut saja Mbak A. Mbak A menikah di usia 19 tahun dengan alumni Teladan juga (ngomong-ngomong hal tersebut sering terjadi). Walaupun sudah menikah, Mbak A tetap kuliah di jurusan gizi dan kesehatan karena salah satu tujuan kuliahnya adalah supaya bisa mengelola gizi dan kesehatan keluarganya dengan baik. Selain itu Mbak A aktif menulis cerpen islami. Kenapa saya bisa tahu? Karena saya sering kepo Mbak A dan suami beliau. Saya melakukannya untuk memahami pola pikir golongan putih. 

Dari hasil kepo, menurut saya Mbak A adalah seorang istri yang ideal. Cantik, penurut, lemah lembut, baik hati, pintar, dan punya kriteria paling penting menurut golongan putih: ingin membentuk keluarga yang sakinah mawadah warahmah. Jadi, golongan putih biasanya sudah puas dan bahagia kalau bisa hidup dengan nyaman, sederhana, serta memiliki keluarga yang bersama-sama menuju surga. Karir seperti bukan prioritas utama mereka. Saya tidak bilang ini jelek. Saya hanya penasaran, apakah mereka tidak ingin mencapai lebih banyak? Tanpa bertanya pun saya tahu jawaban mereka, "Pandan, apa yang kamu maksud dengan 'lebih banyak'? Menurut kami, 'lebih banyak' itu berarti Allah."

Bagaimana dengan golongan lainnya di Teladan? Hitam adalah golongan yang bebas. Mereka terdiri dari bad boy dan bad girl. Tapi percayalah, di luar mereka hanya akan mendapat predikat "almost bad boy" dan "almost bad girl". Mereka suka berganti-ganti pacar, tidak ragu berkata kotor, dan melakukan hal-hal yang sebenarnya normal saja untuk remaja. Uniknya, salah seorang golongan hitam suka membuat graffiti "bahagia itu sederhana" di lingkungan sekolah seperti di papan tulis, kotak aspirasi, meja... Sejak munculnya graffiti-graffiti itu, aku menemukan beberapa tulisan anak Teladan mengenai konsep bahagia itu sederhana. Terima kasih telah menyebarkan inspirasimu, Kawan.

Lalu... golongan abu-abu. Favorit anak Teladan. Aku pun bercokol di zona ini. Kami tidak mau repot-repot mendeklarasikan diri sebagai putih atau hitam. Lantas bagaimana konsep bahagia menurut golongan abu-abu? Menurut saya, bahagia itu berarti aman. Karena di sekolah saya... yang beraman-amanlah yang bisa bertahan. Fuck yeah!