Saya kerap memakai
bando saat TK. Bando-bando itu berwarna cerah: merah, biru muda, atau pink—warna
favorit saya dulu. Suatu hari saya merasa kehilangan bando yang tadinya saya
pakai. Saya pun mencarinya ke mana-mana. Karena tak kunjung ketemu, saya bertanya
pada teman saya. Dia menjawab dengan bingung, “Bandomu? Kan ada di lehermu!”
Astaga! Ternyata tadi saya melonggarkan bando itu hingga leher, menjadikannya
seperti kalung!
Lucu bukan betapa
sesuatu yang kita cari ternyata berada sangat dekat dengan kita?
Mari saya ceritakan
kisah lain. Suatu hari, orang tua saya menghadiahi saya uang Rp 100.000,00.
Saya lantas memasukkannya ke saku celana. Kemudian saya pergi ke warung dekat
rumah dengan masih mengantongi uang tersebut. Selesai berurusan di warung (bayarnya
menggunakan beberapa ribu uang lain yang saya bawa), saya pun pulang. Tak lama
kemudian saya menyadari bahwa uang Rp 100.000,00 itu hilang! Saya panik. Di
rumah, di jalan, di warung, uang itu tak saya temukan. Entahlah. Mungkin
terbawa angin atau “terbawa” tangan orang lain.
Dengan takut-takut saya
melapor pada Ibu bahwa uang saya hilang. Saya juga meminta maaf atas kecerobohan
saya. Kemudian Ibu—benar-benar tak saya sangka—tidak memarahi saya, malah mengganti
uang yang hilang itu sejumlah Rp 100.000,00 juga!
Sampai sini mungkin
Anda mengira bahwa orang tua saya terlampau memanjakan anaknya. Tidak. Orang
tua saya cerdik. Ibu tahu betul, dengan mengganti uang tersebut beliau membuat
saya merasa tidak enak hati luar biasa. Beliau ingin saya memarahi diri saya
sendiri, ingin supaya saya sadar sendiri. Dan memang begitu. Hari itu saya
mendapat sebuah pelajaran mahal: simpan uangmu baik-baik. Kalau bisa
menghilangkan Rp 100.000,00, sungguh mungkin kelak bisa menghilangkan sejuta,
10 juta atau 100 juta hanya karena ceroboh. Sejak saat itulah saya lebih
berhati-hati dalam hal keuangan.
Bukankah Tuhan Mahabaik?
Ia membuat kita kehilangan sesuatu, namun kita menemukannya lagi dalam bentuk
yang lebih baik.